Aku

Disebuah sudut rumah terdapat kamar yang tak asing, menghadap ke barat dengan jendela-jendela yang masih terbuka. Didinding tersusun rapi bingkai-bingkai foto kenangan lama. Terselip beberapa cerita senang dan duka terkunci rapat dalam balik kaca bingkai foto itu. Semua hal tentangku yang tak ingin orang lain tahu, semua keinginanku yang tak akan mampu orang lain tuk mengerti. Itulah aku, dibalik naifnya diriku.

Pagi ini semilir angin menerpa jendela kamar, beberapa daun terbawa angin masuk ke kamarku. Sentuhan cahaya matahari pagi menyilaukan mataku yang masih terpejam, menikmati mimpi tidur malam ini sudah tak dihiraukan lagi, ya aku memimpikan sebuah kenangan lama yang tak akan terulang kembali.
Setiap mengingatnya, aku mencoba menahan air mata. Jangan menangis, jangan menangis, itu yang aku pikirkan. Jangan tampak lemah, itu bukan apa-apa. Kucoba melangkahkan kakiku keluar dari tempat tidur, mata ini masih terpejam. Apakah ini sudah pagi? aku berharap aku masih berada dalam mimpi. Melihat keluar jendela, merasakan sejuknya desiran angin pagi yang menerpa pipiku. Ah, apa yang akan ku lakukan hari ini? sembari memegang bingkai foto di atas meja belajarku.

Aku menuruni tangga, aku melihat sebuah sarapan mewah sudah menantiku di sana. Hanya tertuliskan secarik kertas "selamat makan" yang ku dapatkan. Tanpa ditemani seseorang, aku sudah terbiasa sarapan sendiri. Hari minggu yang sama seperti sebelumnya, setelah sarapan aku bergegas mandi, merapikan rambutku dan memilih pakaian yang biasa. Aku menuju ke taman depan rumah, menyirami bunga-bunga kesukaan ibuku. Hari ini tampak cerah, aku duduk diayunan. Mengabaikan segala hal yang mengganggu dibenakku. Ini sudah tahun kedua bisakah aku melupakanya, tidak. Bukan itu yang aku harapkan, melupakan kenangan pahit, ya hanya kenangan pahit yang ingin aku lupakan. Dibalik payung hitam itu, hujan yang menerpaku, suara tangisan yang selalu menghantuiku. Aku terdiam, air mata ini tak bisa keluar. Aku hanya berfikir bagaimana dia bisa mengingkari janji yang sudah kita buat. Janji yang teringkari karena maut.

Aku hidup hampir tanpa ekspresi setelahnya, seperti tidak ada lagi yang bisa membuatku tertawa atau menangis. Seperti sesuatu telah diambil bersama kepergiannya.
Hari yang cerahpun tak lagi sama seperti dulu. Kudengar suara bel berbunyi, kutinggalkan ayunanku dan menghampiri pintu depan rumahku. Kudapati sebuah senyuman yang tak asing dari teman semasa kecilku, dan dia juga tetanggaku. "Selamat pagi nona, bisakah kita pergi jalan-jalan pagi sekarang" dengan kata-kata itu dia mencoba mengodaku, ku ambil jaketku dan bergegas pergi, meninggalkan sejenak kesesakan yang ada di rumah ini. Aku berlari ke arahnya, dia hanya tersenyum. Tanpa dia tahu aku sudah cukup senang, tanpa ada imbal balik senyuman diwajahku. Tapi mungkin dia lebih tahu, dari pada aku sendiri

Komentar

  1. Cukup menarik nurul-chan :D lanjut aja ceritanya, tokohnya belum keliatan itu cewek atau cowok :D

    BalasHapus
  2. iya makasih ta sarannya :D iya masih bingung, nanti diperbaiki lagi kok di chapter selanjutnya. makasih (>_<)

    BalasHapus
  3. haik haik nurul-chan aku tunggu chapter selanjutnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer